Minggu, 24 April 2011

JAWABAN AKHIR DARI KERUWETAN

Ruangan ini menjadi lebih terang. Kini aku dapat membaca kata per kata dari buku-buku referensi yang aku butuhkan, penglihatanku menjadi lebih jelas untuk menatap ke depan. Aku mampu menyaksikan apapun disekelilingku sehingga berani untuk berdiri dan berjalan menyusuri seluruh isi ruangan, mencari bagian-bagian yang kotor dan membersihkannya.

Ucapan terima kasih ingin kubisikkan kepada seorang teman. Teman yang kecil dan lemah, yang selalu ada dan berkata dengan suara lirih nan lembut hingga aku terlampau sering mengabaikannya dan memilih untuk mendengarkan radio-radio favorit yang memperdengarkanku acara-acara yang cukup menghibur. Namun pada akhirnya aku tersedak.

Aku..., orang yang sibuk melakukan perjalanan seorang diri, berbekal pendapat dan emosi, mencoba memberikan gelar sebagai seseorang yang memiliki seribu pengalaman kepada dirinya. Padahal, jasad itu adalah sangkar bagi kesombongan dan jiwanya pun tidak merdeka. Selanjutnya, dengan bekal pikiran dan perasaan, aku mulai melakukan penilaian perspektif dan kemudian mendiskusikannya dengan diriku sendiri. Lalu mempresentasikannya di dalam forum terbuka dengan maksud agar subjek-subjek dalam pokok bahasan akan melihat semua ini.

Setelah selesai, lalu kucoba tuk menulis yang kedua. Dengan referensi keangkuhan dan emosi, kembali melakukan penilaian perspektif tentang dirinya, hatinya. Kemudian berdiskusi lagi dengan diriku, dan....., surat pun jadi. Saat itu aku masih merasa seperti burung tong-tong yang telah terbang kesana-kemari hinggap di setiap ladang yang berbeda jenis dan keadaannya, merasa bahwa aku sedang menyaksikan dirinya tersesat dari puncak mercusuar yang menjulang tinggi, merasa bahwa perahuku berlayar dan perahunya tenggelam, merasa bahwa peranku protagonis dan dia antagonis, merasa bahwa aku putih dan dia hitam. Dengan semua hasil karya itu, aku mencoba menjawab pertanyaan dari seorang teman kecil. Kesombongan masih meyakinkanku bahwa aku lebih pintar darinya. Kemudian, ku melangkah sebagaimana daun yang gugur dari tangkainya dan ikut mengalir dalam arus air serta tak tahu entah mau kemana.

Mual.., pusing.., badan panas dingin.., seperti menjadi satu kesatuan di dalam kebingunganku.., memberikan suasana ekstrim dengan nuansa horor di setiap aku memikirkannya. Berantakan sekali rasanya hingga aku pun terpuruk.

Malu rasanya menjadi diriku yang waktu itu. Menangis pada-Mu karena tersiksa..., kemudian tertawa sendiri jika bahagia. Namun, Kau selalu menasehatiku dengan kewibawaan-Mu yang tak terkalahkan hingga pada hari ini, Kau luruskan semua benang-benang yang ruwet ini dengan cara-Mu yang tak kuduga-duga. Aku pun tersedak, sehingga hati yang keras telah melebur bagai lilin merah yang menerangi sebuah ruang gelap seorang diri. Terus-menerus melebur hingga api yang remang-remang itu lenyap dan tergantikan oleh lampu neon dua puluh watt yang mampu menerangi setiap sudut ruangan. Perasaan gembira muncul, seperti ibu-ibu tukang sayur yang berhasil menjual seluruh dagangannya.

Otot kaki ini terasa mengencang hingga ingin berlari sekencang mungkin, menyalip apapun di depan sana..., melewati batas-batas keberhasilan..., mengejar waktu yang tak pernah berhenti kelelahan..., meninggalkan arena perdebatan yang tak berujung..., menuju kerumah idaman yang telah lama kupesan. Di punggungku, kini ada keyakinan. Tak perlu lagi kugendong buku-buku petunjuk